Rabu, 15 September 2010

Alkisah, hiduplah seekor kijang paro-baya yang dianggap bijak dan berpengalaman. Sepanjang hidupnya, sudah puluhan kali dia berhasil selamat dari ancaman predator dengan taktik yang diajarkan oleh kakek dan ortu-nya. Mereka mengajarinya untuk mengikuti nalurinya yang paling mendasar bila mencium adanya ancaman, yaitu: diam di tempat dengan sempurna. Awalnya memang ada setitik keraguan apakah taktik tersebut akan berhasil, namun setelah taktik tersebut berhasil menyelamatkan dirinya berkali-kali, akhirnya dia percaya penuh. Setelah segala keraguan hilang, sang kijang sekarang giat mengajarkan taktik tersebut kepada sang istri, keturunannya, dan semua teman-teman sekolompoknya. Ternyata, semua dari mereka yang menerapkan taktik tersebut melaporkan kisah sukses serupa.

Sang kijang merasa bangga dan senang. Akhirnya kelompoknya telah berhasil menemukan resep rahasia yang tak pernah gagal untuk selamat dari ancaman predator.

(Mungkin ada beberapa teman sekelompok yang pernah menerapkan taktik tersebut dan gagal, namun yang jelas mereka yang gagal tidak sempat menceritakan kegagalan tersebut sehingga kepercayaan kelompok terhadap taktik tersebut tetap terjaga.)

Sampai suatu malam…

Sang kijang yang bijak tersebut, karena rasa ingin tahunya, berjalan jauh dari kelompoknya. Tanpa disadari, dia tiba di sebuah jalan raya beraspal. Belum sempat dia merasakan keanehan dengan apa yang dilihat dan dirasakan telapak kakinya, tiba-tiba dia melihat adanya sesuatu yang mendekat dengan cepat. Predator! Secara refleks, dia berdiam diri. Jangan kuatir. Saya akan selamat seperti biasanya.

Truk gandeng dengan kecepatan seratus kilometer per jam tersebut menggilas sang kijang bijak yang berdiam terpaku.

Kisah tersebut diadaptasi dari kisah nyata yang dialami ribuan kijang setiap tahunnya yang harus mati sia-sia karena tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Respon alamiah mereka terhadap predator ternyata justru membuat mereka terkapar saat berhadapan dengan teknologi modern dalam bentuk kendaraan bermotor.

Kisah tersebut juga kisah tentang kita, umat manusia, yang tidak mau berubah meski lingkungan sudah berubah total. Globalisasi telah membuat kita harus bersaing dengan milyaran penduduk dunia lainnya. Respon kita? Diam di tempat, tetap seperti biasa. Perubahan teknologi telah membuat ilmu yang kita pelajari dua atau tiga tahun lalu tidak bisa dipakai lagi. Respon kita? Diam di tempat, kerjakan seperti biasa.

Perusahaan kita juga sama saja. Ancaman produk-produk murah dari Cina? Lakukan respon sebelumnya: mengeluh pada pemerintah, minta proteksi. Perubahan teknologi? Wait and see dulu ah. Toh selama ini bisa sukses tanpa teknologi baru. Perubahan demografi? Tenang saja. Generasi sekarang dan dulu sama saja. Mereka [generasi baru] tetap akan menyukai produk-produk kita. Kalau mereka gak suka, mereka lah yang bodoh. Mereka yang harus mengubah selera mereka, bukan kita. Deregulasi pemerintah? Sialan! Para pejabat goblok tersebut mestinya diganti saja.

Seperti kijang yang berdiri di atas jalan raya tersebut, lingkungan yang kita hadapi sekarang tidak lagi seperti dulu. Kita tidak lagi hidup tenang di padang rumput hijau, tapi di jalan raya di mana semuanya bergerak dengan kecepatan tinggi. Musuh kita tidak lagi menghuni habitat yang sama, tetapi datang dari tempat-tempat lain. ‘Predator-predator’ tersebut juga jauh lebih kuat dan dalam bentuk yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Respon yang sama yang selama ini kita pakai bukan saja tidak beguna lagi, tapi malah akan membawa celaka.

Kita = Kijang?
Categories:

0 komentar:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!